Beberapa
waktu lalu ada seseorang yang menanyakan tentang PER, kurang lebih seperti ini
pertanyannya “para master disini ada yang percaya gak sih kalau mau beli saham
harus tunggu ratio P/E atau PER (Price Earning Ratio) nya rendah dulu?”.
Saya
akan memberikan sedikit penjelasan (saya bukanlah master saham, tetapi dengan
sedikit pengetahuan ini semoga bermanfaat) terkait PER ini agar para pembaca
mengetahui dengan baik penggunaan PER, dan metode yang digunakan yang sesuai
dengan PER.
PER
(price earning ratio) atau rasio yang mengukur sebearapa besar rasio yang
dihasilkan dengan membagi market price (harga pasar) dengan EPS (earning per
share/laba per lembar saham) sehingga dihasilkan suatu angka yang bias digunakan
untuk mengukur tingkat kewajaran sebuah harga saham di bursa.
PER
sangat terkenal di dunia value investing dan growth investing (lebih
menggunakan PEG) dan dipercaya mampu memberikan petunjuk kewajaran harga sebuah
saham di bursa selain menghitiung nilai intrinsik dan PBV.Sebuah saham akan
dinilai memiliki harga saham wajar saat nilai PER nya rendah (tidak ada aturan
baku terkait ini) dan harga sebuah saham dikatakan overvalue jika PER nya
tinggi (mendekati atau melebihi PER sector industrinya). Lalu apakah metode ini
emmberikan keakuratan tinggi dalam hal menilai kewajaran harga sebuah saham?
Jawabannya relatif. Kenapa relatif? Mari kita perdalam pemahaman ini.
PER
berasal dari perhitungan harga pasar dibagi dengan EPS, dimana angka yang
dihasilkan akan bersifat fluktuatif (berubah-ubah). Kefluktuatifan PER tersebut
tidak lepas dari mudahnya perubahan angka market price dan EPS. Mari kita ambil
contoh, lets say market price hari ini Rp 2000 dengan nilai EPS sebesar Rp 150.
Dari kedua angka tersbut maka didapat nilai PER nya sebesar 13,3. PER sebesar
13,3 tersebut wajar atau tidak? Belum tentu, karena kita harus tahu bagaimana
kondisi fundamental perusahaan, PER saham pesaing, dan PER sektornya berapa.
Jika
hari ini PER nya sebesar 13.3 lalu bagaimana dengan hari esok, lets say harga
saham tersebut anjlok menjadi 1900, maka PER nya menjadi 12,7. Lalu minggu
depan saham tersebut naik karena sebuah berita, lets say 2250 per lembarnya,
maka PER yang dihasilkan sebesar 15. Mudah sekali berubah kan? Pertanyaan selanjutnya
apakah anda akan membeli saham tersebut hari ini saat PER 13,3 dan menjual sahm
tersebut saat PER nya menjadi 15? Jika anda melakukan hal tersebut maka anda
tidak lebih dari seorang spekulan, karena perubahan PER tersebut berasal dari
isu yang berhembus dikalangan investor yang belum tentu kebenarannya.
Misalkan
lagi, pada kuartal selanjutnya ternyata saham tersebut nilai EPS nya turun
menjadi 90. Dengan harga per lembarnya sebesar 1500 maka PER nya sebesar 16,7
dan anggapannya saham tersebut mahal karena memang PER nya tersebut terbilang
tinggi. Lalu apakah anda akan menjual saham anda yang anda beli saat saham
tersebut berharga 1900 yang saat itu dianggap wajar? Tentu anda akan berfikir
dua kali untuk melakukannya.
Inilah
kontradiksi dari PER, dimana angka yang dihasilkan mudah sekali berubah dari
waktu ke waktu dan jika anda bukan tipe orang dengan ketenangan dan pemahaman
yang baik, maka anda akan mudah sekali dipermainkan oleh angka-angka PER. Lalu
apa yang perlu dilakukan jika angka PER saja mudah sekali berubah seperti itu?
Well,
jika anda menggunakan PER sebagai salah satu instrumen dalam menilai kewajaran
harga saham, sebaiknya anda memperdalam value investing sehingga sebelum menggunakan
PER dalam analisa kewajaran harga saham, anda sudah tahu betul dengan kondisi
keuangan perusahaan, dan karakteristiknya.
Berikut
contoh lagi, saham A adalah saham unggulan dan memiliki track record yang
mengesankan selama ini dan saat ini saham tersebut memiliki nilai PER sebesar
40 dimana angka tersebut jauh melampaui PER sector industrinya yang katakana saja
30. Jelas dalam pemahan tersebut PER saham A sudah overvalue karena sudah
terlampau tinggi jika dibandingkan dengan PER sektornya. Kemudian saham lain
lets say B dengan sector yang sama, memiliki PER sebesar 7 dan jelas angka
tersebut sangat menggiurkan karena jauh dibawah PER sektornya sebesar 30, dan
anda mengambil kesimpulan bahwa saham tersebut jauh lebih murah ketimbang saham
A dengan PER nya sebesar 40 dan memiliki fundamental yang sama baiknya.
Benarkah
saham B lebih murah (undervalued) ketimbang saham A dan anda langsung
membelinya dengan analisa tersebut? eits, sebentar dulu. Mari kita lnjutkan
ceritanya (silakan minum kopi anda dulu :D ). Satu bulan kemudian, saham A
bukannya PER nya turun malah naik menjadi 56 (jelas ini terlihat sangat mahal)
dan saham B PER nya menjadi 8. Pertanyaannya sekarang, sudah benarkah anda
membeli saham B dengan PER sebesar 7 tersebut? Jelas tidak. Lalu apa yang
membuat saham A menjadi sangat mahal yang jelas-jelas PER nya sudah sebesar 40
dan naik menjadi 56. Apakah mereka yang membeli saham A sudah tidak wajar
ekspektasinya? Ataukah ada faktor-faktor lain yang lebih dominan terhadap saham
A tersebut? Yang jelas-jelas disisi lain ada saham lain yang memiliki PER yang
jauh lebih rendah namun tidak menunjukkan peningkatan harga sahamnya. Mungkin
jika anda sudah sangat sebal, bisa saja anda mengumpat “mereka yang membeli
saham A sudah ngawur”.
Ngawur?
Ok, tapi mereka kan mendapatkan gain dari kenaikan harga saham tersebut? Sedangkan
anda? Dapat sih, tapi kecil dibanding mereka.
Jika
anda mendalami analisis fundamental, maka anda akan mendapatkan sebuah hal
diluar perkiraan. Yups, bargaining position. Inilah yang dimiliki saham A dan
tidak dimiliki oleh saham B dan menjadi pemicu kenapa saham A harganya terus
meroket disbanding saham B yang terlihat stagnan.
Bergaining
position ini berupa merk, tim manajemen, produk, inovasi, dan prospek yang
dimiliki perusahaan. Dan jelas ini tidak terlihat dalam laporan keuangan, dan
tidak dapat mengubah EPS nya :D
Lalu
kesimpulannya apakah PER mampu menunjukkan bahwa sebuah saham itu undervalued
atau overvalued? Belum tentu. Anda harus mendalami analisa ini dan perlu jam
terbang tinggi untuk dapat memahami PER dengan sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar